Monday, December 19, 2011

Cinta Hakiki


Cinta Hakiki

Aku mencintai-Mu, ya Allah
Hanya mencintai-Mu
Jangan biarkan cintaku pada-Mu terbagi
Jangan biarkan aku mencintai seseorang yang tak pantas aku cintai
Aku ingin mencintai dan dicintai itu atas izin-Mu
Aku tak ingin mencintai jika itu menjauhkan aku pada-Mu
Aku tak ingin dicintai jika ini membuat aku lupa diri dan terlena dengan cinta semu
Aku hana ingin mencintai dan dicintai seseorang atas izin-Mu
Agar cintaku terjaga
Jangan biarkan aku mencintai seseorang yang bukan untukku, dan
Jangan biarkan aku dicintai seseorang yang tidak mencintaiku karena Allah
Aku ingin cinta yang hakiki
Pertemukan aku dengan cintaku kelak disinggasana surga-Mu yang abadi
Amin




Friday, December 9, 2011

Riba


 

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Fiqih menurut pengertian (istilah) adalah segala hukum syara’ yang diambil dari kitab Allah SWT dan Muhammad SAW. Dengan jalan ijtihad berdasarkan hasil penelitian yang mendalam. Di dalan ilmu fiqih ini juga membahas bagaimana peraturan kehidupan menurut hukum Islam bahkan sampai ketahap keberhasilan pun dijelaskan oleh ilmu fiqih ini secara mendalam.
Dalam ilmu fiqih juga mejelaskan tentang pengertian Riba secara terperinci atau mendalam melalui panduan Al-Quran dan sabda nabi, bahkan pendapat ulama agar bisa tercapainya suatu kesepakatan dan keputusan yang benar dan lurus sejalan dengan ajaran Al-Quran dan syari’at Islam.
Terkadang kita sebagai manusia menilai bahwa hukum fiqih itu semuanya mudah termasuk di dalamnya Riba, kita tidak tau bahwa hal-hal yang sekecil inilah yang selalu membuat kita menjadi tersesat apabila kita tidak mengetahuinya secara terperinci, maka terjadilah penyimpangan–penyimpangan yang bertentangan dengan ajaran islam.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :  
… الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ …
“...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”.
Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. Bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal, jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti, berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya, dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya, yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. Berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya, maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
B.      Rumusan Masalah
1. Membahas tentang Riba
2. Mengelompokkan macam-macam Riba
3. Memahami landasan hukum dilarangnya Riba
4. Apa hikmah dilarangnya Riba
C.      Tujuan Pembahasan
          1. Mengetahui apa itu Riba
          2. Mengetahui macam-macam Riba
          3. Mengetahui ancaman bagi pemakan Riba
          4. Mengetahui Alasan dilarangnya Riba

BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Riba dari segi bahasa berarti ziyadah (kelebihan) atau tambahan. Sedangkan menurut istilah syara’ berarti bertambahnya harta (dalam pelunasan hutang) tanpa imbalan jasa apapun.
Dalam pengertian lain Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian persen tambahannya.
Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan Ibn Rushd (al-hafid) seorang fakih, memaparkan beberapa sumber riba ke dalam delapan jenis transaksi:
1. Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya kelonggaran (dalam pelunasan) dan saya akan tambahkan (jumlah pengembaliannya)
2.    Penjualan dengan penambahan yang terlarang;
3.    Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang;
4.    Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;
5.    Penjualan emas dan barang dagangan untuk emas;
6.    Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat;
7.    Penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima;
8.    atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang.
Islam menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, baik itu secara ekonomis, moral, maupun sosial. Oleh karena itu, Al-qur’an melarang kaum muslimin untuk memberi ataupun menerima riba. Dalam mengungkap rahasia makna riba dalam al-Qur’an, ar-Razi menggali sebab dilarangnya riba dari sudut pandang ekonomi, dengan beberapa indikasi sebagai berikut:
1.      Riba tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan apa pun. Padahal, menurut sabda Nabi harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang lain.
2.      Riba dilarang karena manghalangi pemodal untuk terlibat dalam usaha mencari rezeki. Orang kaya, jika ia mendapatkan penghasilan dari riba, akan bergantung pada cara yang gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha.
3.      Dengan riba biasanya pemodal semakin kaya dan bagi peminjam semakin miskin, sekiranya dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas orang miskin.
4.      Riba secara tegas dilarang oleh al-Qur’an, dan kita tidak perlu tahu alasan pelarangannya.[1]

B.      Ancaman Bagi Pelaku Riba 
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)

          Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkan-Nyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)


         Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam agama yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: 

"Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).


Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan: 

"Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..."
   (Lukas 6: 35).

Riba di haramkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Berikut hadits yang melarang dan mengecam praktik riba dengan kata-kata yang tegas dan jelas. Dalam hadits ini dikatakan dengan jelas tentang laknat bagi pelaku riba:

Dari Jabir r.a. : Telah melaknati (mengutuki) Rasulullah Saw akan orang yang memakan riba, orang yang berwakil padanya, penulisnya, dan kedua saksinya”.(diriwayatkan oleh Muslim)[2]


 Nabi SAW bersabda : 

riba itu sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan berkurang”

          Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah SWT, sehingga pada akhirnya akan berkurang. Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah SWT akan memusnahkan harta yang diperoleh dengan cara riba dan menghilangkan keberkahannya. 

C.      Jenis-Jenis Riba
1.  Riba Qardh
Yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp.1.300.000,-(satu juta Tiga ratus ribu rupiah).

Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)
2. Riba Jahiliyyah
     Dinamakan riba jahiliyah sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:[3]
a.       Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo .
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً

            “Hai orang2 yg beriman janganlah kamu memakan riba dgn berlipat ganda.”
b.      Pinjaman dgn bunga yg dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. mk si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosa dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
3. Riba Fadl
Yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama.
Sabda Rasul SAW :

“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim) 

Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata.
4.    Riba Nasi’ah
Ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya.
Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:

“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Jarud).

D.      Landasan Hukum Larangan Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:

“Sesungguhnya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(Al- Baqoroh / 2:275)

Pada ayat ini juga disebutkaan:
 
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan”
(Ali imran/3 : 130)[4]

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, 

Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).

Dalam surah al-Baqarah ayat 278  juga disebutkan yang artinya:

Hai sekalian orang yang telah percaya, bertaqwalah kamu  kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba.” [5]


Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a. bahwa Nabi saw bersabda:

Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).[6]

Rasulullah saw. pernah bersabda: 

“satu dirham riba yang dimakan oleh seorang laki-laki, sementara ia tahu, lebih berat (dosanya) daripada berzina dengan 36 pelacur (HR Ahmad dan ath-Thabrani).”

Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata:         

Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).

E.      Riba Menurut Pandangan Agama Lain
Konsep bunga dikalangan Kristen, di dalam Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : 

Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
 
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.[7] Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:

“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“

F.      Hikmah Dilarangnya Riba
Menurut Qardhawi, hikmah yang tampak jelas dibalik pelarangan riba adalah perwujudan persamaan yang adil di antara pemilik harta (modal) dengan usaha, serta pemikulan risiko dan akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung jawab. Prinsip keadilan dalam Islam ini tidak memihak kepada salah satu pihak, melainkan keduanya berada pada posisi yang seimbang.[8]
Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:
Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standar hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:

"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya”.

Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika).
Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).



BAB III
PENUTUP

A.           Analisis Mengenai Riba
Ditinjau dari berbagai sumber, riba adalah suatu perbuatan yang melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam dengan cara yang bathil.
Riba terdiri dari empat macam yakni Riba Qardh,Riba Jahiliyyah,Riba Fadl, dan Riba Nasi’ah. Dan riba itu sendiri memiliki 73 pintu, yang paling ringan dosanya adalah seperti seorang lelaki berzinah dengan ibunya sendiri. Dan Rasulullah pernah pula berkata satu dirham riba yang dimakan oleh seorang laki-laki, sementara ia tahu, lebih berat (dosanya) daripada berzina dengan 36 pelacur.
Dilarangnya riba berlandaskan pada Al-quran dan Hadist. Di dalam surah Al- Baqoroh ayat 275 Allah menyatakan akan kehalalan jual beli dan mengharamkan riba. Dan pada surah Ali-Imran ayat 130 Allah memerintahkan kepada orang yang beriman untuk tidak memakan riba dan bertaqwa kepada-Nya, dan Allah akan memberikan keberuntungan kepada orang yang melaksanakan perintahnya.
Bukan hanya agama islam yang melarang riba. Agama lain pun melarang riba, contohnya agama Kristen. Didalam kitab mereka terdapat larangan untuk melakukan riba karena riba akan menyengsarakan manusia.
Dilarangnya riba didalam agama islam memberikan beberapa hikmah diantaranya membuat manusia tidak bermalas-malasan, menyuruh manusia untuk tidak menindas yang lemah dan saling tolong menolong antar seama manusia.

B.            Simpulan
Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki, dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.

C.           Saran
Sebagai umat islam sudah seharusnya kita menjauhi riba, karena riba hanya mendatangkan kesengsaraan. Dan Nabi Muhammad telah melaknat orang yang memakan riba. Allah pun telah menyatakan didalam Al-quran betapa beratnya dosa memakan riba. Apabila ada dari kita yang pernah memakan riba maka secepatnyalah meminta maaf kepada Allah SWT. Dan janganlah melakukannya lagi.



DAFTAR PUSTAKA

Ismanto, Kuat.2009.Asuransi Syari’ah.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Ascarya.2008.Akad dan Produk Bank Syariah.Jakarta:PT RajaGrafindo.
Harahap, A. Syabirin.1993.Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam.Jakarta:Pustaka Al Husna.
Hasan, Moh. Syamsi.2008.Durratun Nasihin.Surabaya:Amelia.
Annawawy, Imam Abu Zakaria, dan Yahya.1986.Riadus Shalihin.Bandung:PT Al Ma’arif.
http://anakciremai.wordpress.com/2008/05/09/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-perbankan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Riba


[1] Kuat Ismanto,Asuransi Syari’ah,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009),hlm. 176
[2]A. Syabirin Harahap,Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam,(Jakarta:Pstaka Al Husna,1993),hlm. 57
[3] http://blog.re.or.id/macam-macam-riba.htm
[4] A. Syabirin Harahap,Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam,(Jakarta:Pstaka Al Husna,1993),hlm. 57
[5]Annawawy, Imam Abu Zakaria, dan Yahya,Riadus Shalihin,(Bandung:PT Al-Ma’arif,1986),hlm. 477
[6]Moh. Syamsi Hasan,Durratun Nasihin,(Surabaya:Amelia,2008),h.80
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Riba
[8]Ascarya,Akad dan Prodk Bank Syariah,(Jakarta:PT RajaGrafindo,2008),h.13