BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Fiqih
menurut pengertian (istilah) adalah segala hukum syara’ yang diambil dari kitab
Allah SWT dan Muhammad SAW. Dengan jalan ijtihad berdasarkan hasil penelitian
yang mendalam. Di dalan ilmu fiqih ini juga membahas bagaimana peraturan
kehidupan menurut hukum Islam bahkan sampai ketahap keberhasilan pun dijelaskan
oleh ilmu fiqih ini secara mendalam.
Dalam
ilmu fiqih juga mejelaskan tentang pengertian Riba secara terperinci atau mendalam
melalui panduan Al-Quran dan sabda nabi, bahkan pendapat ulama agar bisa
tercapainya suatu kesepakatan dan keputusan yang benar dan lurus sejalan dengan
ajaran Al-Quran dan syari’at Islam.
Terkadang
kita sebagai manusia menilai bahwa hukum fiqih itu semuanya mudah termasuk di dalamnya
Riba, kita tidak tau bahwa hal-hal yang sekecil inilah yang selalu membuat kita
menjadi tersesat apabila kita tidak mengetahuinya secara terperinci, maka
terjadilah penyimpangan–penyimpangan yang bertentangan dengan ajaran islam.
Di
sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang
merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa
terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.
Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik
temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul
berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Dalam
Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah
haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
… الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
…
“...padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”.
Pandangan
ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan
bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada
bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama
Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. Bagaimana suatu akad itu dapat
dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk
riba adalah ditetapkannya akad di awal, jadi ketika kita sudah menabung dengan
tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti,
berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi
deposannya, dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya, yaitu
bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah
diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut
adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian
pasti akan ditanggung oleh peminjam. Berbeda dengan bagi hasil yang hanya
memberikan nisbah tertentu pada deposannya, maka yang di bagi adalah keuntungan
dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh
kedua belah pihak.
B.
Rumusan Masalah
1. Membahas tentang Riba
2. Mengelompokkan macam-macam Riba
3. Memahami landasan hukum dilarangnya Riba
4. Apa hikmah dilarangnya Riba
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui apa itu Riba
2. Mengetahui macam-macam Riba
3. Mengetahui ancaman
bagi pemakan Riba
4. Mengetahui Alasan
dilarangnya Riba
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Riba
Kata
Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini
ditulis dengan alif. Riba dari segi bahasa berarti ziyadah (kelebihan) atau
tambahan. Sedangkan menurut istilah syara’ berarti bertambahnya harta (dalam
pelunasan hutang) tanpa imbalan jasa apapun.
Dalam
pengertian lain Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase
tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. secara linguistik riba
juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat
dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan
bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Misalnya,
Si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang
pokok pinjaman dan sekian persen tambahannya.
Pengertian
riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan Ibn Rushd (al-hafid) seorang
fakih, memaparkan beberapa sumber riba ke dalam delapan jenis transaksi:
1. Transaksi yang
dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya kelonggaran (dalam pelunasan) dan
saya akan tambahkan (jumlah pengembaliannya)
2. Penjualan
dengan penambahan yang terlarang;
3.
Penjualan dengan penundaan pembayaran
yang terlarang;
4. Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;
5.
Penjualan emas dan barang dagangan
untuk emas;
6.
Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas
penyelesaian yang cepat;
7.
Penjualan produk pangan yang belum
sepenuhnya diterima;
8.
atau penjualan yang dicampuraduk dengan
pertukaran uang.
Islam
menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan bagi
masyarakat, baik itu secara ekonomis, moral, maupun sosial. Oleh karena itu,
Al-qur’an melarang kaum muslimin untuk memberi ataupun menerima riba. Dalam
mengungkap rahasia makna riba dalam al-Qur’an, ar-Razi menggali sebab
dilarangnya riba dari sudut pandang ekonomi, dengan beberapa indikasi sebagai
berikut:
1. Riba
tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan apa pun.
Padahal, menurut sabda Nabi harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang
lain.
2. Riba
dilarang karena manghalangi pemodal untuk terlibat dalam usaha mencari rezeki.
Orang kaya, jika ia mendapatkan penghasilan dari riba, akan bergantung pada
cara yang gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha.
3. Dengan
riba biasanya pemodal semakin kaya dan bagi peminjam semakin miskin, sekiranya
dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas orang miskin.
4. Riba
secara tegas dilarang oleh al-Qur’an, dan kita tidak perlu tahu alasan
pelarangannya.
B.
Ancaman Bagi Pelaku Riba
Islam
membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:
"Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan
cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan
dari antara kamu." (an-Nisa': 29)
Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha
akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkan-Nyalah riba
itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang yahudi yang menjalankan riba
padahal mereka telah dilarangnya.
Allah
telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang
meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana
yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila
riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan
dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti
itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam
hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam
agama yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi:
"Jikalau kamu memberi pinjam uang
kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan
ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam
agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan:
"Tetapi hendaklah kamu mengasihi
seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan
menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..."
(Lukas
6: 35).
Riba
di haramkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Berikut hadits yang melarang
dan mengecam praktik riba dengan kata-kata yang tegas dan jelas. Dalam hadits
ini dikatakan dengan jelas tentang laknat bagi pelaku riba:
“Dari Jabir r.a. : Telah melaknati
(mengutuki) Rasulullah Saw akan orang
yang memakan riba, orang yang berwakil padanya, penulisnya, dan kedua saksinya”.(diriwayatkan
oleh Muslim)
Nabi SAW bersabda :
“riba
itu sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan
berkurang”
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang
yang melakukan praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan
besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari
Allah SWT, sehingga pada akhirnya akan berkurang. Dalam Al-Qur’an ditegaskan
bahwa Allah SWT akan memusnahkan harta yang diperoleh dengan cara riba dan
menghilangkan keberkahannya.
C. Jenis-Jenis
Riba 
1. Riba
Qardh
Yaitu riba yang terjadi karena adanya
proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari
orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang
sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya
Rp.1.300.000,-(satu juta Tiga ratus ribu rupiah).
Terhadap bentuk transsaksi seperti ini
dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.
“Semua
piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.”
(Riwayat Baihaqi)
2. Riba
Jahiliyyah
Dinamakan
riba jahiliyah sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan
harta sebagai denda dari penambahan tempo .
Misal:
Si A hutang Rp 1 juta kepada si
B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A
menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya
menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah . Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai
orang2 yg beriman janganlah kamu memakan riba dgn berlipat ganda.”
b. Pinjaman
dgn bunga yg dipersyaratkan di awal akad
Misalnya:
Si A hendak berhutang kepada si B. mk si B berkata di awal akad: “Saya hutangi
kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosa dan sangat tampak
kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem
konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan
uang.” Wallahul musta’an.
3. Riba
Fadl
Yaitu riba dengan sebab tukar menukar
benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu
ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram
emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama.
Sabda
Rasul SAW :
“ Dari Abi Said Al
Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas
dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah
sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang
kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas
sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang
abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)
Riba Fadli atau riba tersembunyi ini
dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang
nyata.
4. Riba
Nasi’ah
Ialah tambahan yang
disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan
atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya.
Misalnya si A meminjam
uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu
bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu,
si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka
waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang
atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW.
Menegaskan bahwa:
“Dari
Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli
hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan
oleh Tirmidzi dan Ibnu Jarud).
D.
Landasan Hukum Larangan Riba
Riba,
hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Sesungguhnya Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba”.
(Al-
Baqoroh / 2:275)
Pada
ayat ini juga disebutkaan:
“Hai orang – orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan”
Dari
Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda,
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para
sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan
kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah
haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan
harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan
(ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang
urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V:
393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i
VI: 257).
Dalam
surah al-Baqarah ayat 278 juga
disebutkan yang artinya:
Hai sekalian orang yang
telah percaya, bertaqwalah kamu kepada
Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba.”
Dari
Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki
berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’
tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka
Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar,
tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak
sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216
no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas
dan Nasa’i VII: 272).
Dari
Abdullah Ibnu Mas’ud r.a. bahwa Nabi saw bersabda:
“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu,
yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).
Rasulullah
saw. pernah bersabda:
“satu dirham riba yang
dimakan oleh seorang laki-laki, sementara ia tahu, lebih berat (dosanya)
daripada berzina dengan 36 pelacur (HR Ahmad dan ath-Thabrani).”
Dari
Fadhalah bin Ubaid ia berkata:
“Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli
sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan
permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas
Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda,
‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil
no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, ‘Aunul
Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).
E. Riba Menurut Pandangan Agama Lain
Konsep
bunga dikalangan Kristen, di dalam Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan
permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap
bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas
6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut
menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada
orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu?
Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka
menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik
kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan
besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik
terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang
jahat.”
Ketidaktegasan
ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para
pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan
pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat
dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal
Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana
Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan
pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama
Kristen menghalalkan bunga. Kitab Ulangan
23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh
engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga …
supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang
engkau masuki untuk mendudukinya.“
F. Hikmah Dilarangnya Riba
Menurut
Qardhawi, hikmah yang tampak jelas dibalik pelarangan riba adalah perwujudan
persamaan yang adil di antara pemilik harta (modal) dengan usaha, serta
pemikulan risiko dan akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung jawab.
Prinsip keadilan dalam Islam ini tidak memihak kepada salah satu pihak,
melainkan keduanya berada pada posisi yang seimbang.
Islam
bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi
kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun
perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang
dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:
Riba
adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang
meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan
satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standar
hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut
dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan
kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti,
sudah pasti haramnya”.
Bergantung
kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si
pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang,
baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari
penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha,
dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan
berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat
disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya
perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak diragukan lagi,
bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
Riba
akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia
dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang
akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham
juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan
menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya
mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan
kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika).
Pada
umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang
yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan
kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai
tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh
rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).
BAB III
PENUTUP
A.
Analisis
Mengenai Riba
Ditinjau
dari berbagai sumber, riba adalah suatu perbuatan yang melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase
tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam dengan
cara yang bathil.
Riba terdiri dari empat macam yakni Riba
Qardh,Riba Jahiliyyah,Riba Fadl, dan Riba Nasi’ah. Dan riba itu sendiri memiliki
73 pintu, yang paling ringan dosanya adalah seperti seorang lelaki berzinah
dengan ibunya sendiri. Dan Rasulullah pernah pula berkata satu dirham riba yang
dimakan oleh seorang laki-laki, sementara ia tahu, lebih berat (dosanya)
daripada berzina dengan 36 pelacur.
Dilarangnya
riba berlandaskan pada Al-quran dan Hadist. Di dalam surah Al- Baqoroh ayat 275
Allah menyatakan akan kehalalan jual beli dan mengharamkan riba. Dan pada surah
Ali-Imran ayat 130 Allah memerintahkan kepada orang yang beriman untuk tidak
memakan riba dan bertaqwa kepada-Nya, dan Allah akan memberikan keberuntungan
kepada orang yang melaksanakan perintahnya.
Bukan
hanya agama islam yang melarang riba. Agama lain pun melarang riba, contohnya
agama Kristen. Didalam kitab mereka terdapat larangan untuk melakukan riba
karena riba akan menyengsarakan manusia.
Dilarangnya
riba didalam agama islam memberikan beberapa hikmah diantaranya membuat manusia
tidak bermalas-malasan, menyuruh manusia untuk tidak menindas yang lemah dan
saling tolong menolong antar seama manusia.
B.
Simpulan
Ini
semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang
yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom)
dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap
miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas
pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati
dan pendengki, dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan di antara
anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis
dan kaum subversi.
C.
Saran
Sebagai
umat islam sudah seharusnya kita menjauhi riba, karena riba hanya mendatangkan
kesengsaraan. Dan Nabi Muhammad telah melaknat orang yang memakan riba. Allah
pun telah menyatakan didalam Al-quran betapa beratnya dosa memakan riba.
Apabila ada dari kita yang pernah memakan riba maka secepatnyalah meminta maaf
kepada Allah SWT. Dan janganlah melakukannya lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ismanto,
Kuat.2009.Asuransi Syari’ah.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Ascarya.2008.Akad dan Produk Bank Syariah.Jakarta:PT
RajaGrafindo.
Harahap, A. Syabirin.1993.Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam.Jakarta:Pustaka
Al Husna.
Hasan,
Moh. Syamsi.2008.Durratun Nasihin.Surabaya:Amelia.
Annawawy,
Imam Abu Zakaria, dan Yahya.1986.Riadus
Shalihin.Bandung:PT Al Ma’arif.
http://anakciremai.wordpress.com/2008/05/09/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-perbankan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Riba